Sabtu, 17 April 2010

PANJA CAFTA DPR Harus Kontrol Kebijakan Pemerintah yang Liberal

JAKARTA (Suara Karya): Pembentukan Pantia Kerja (Panja) DPR untuk implementasi Kawasan Perdagangan Bebas China-ASEAN (CAFTA) menjadi bentuk kontrol terhadap kebijakan pemerintah yang pro liberalisasi.
Hal ini ditekankan oleh ekonom Hendri Saparini berkait dengan kebijakan pemerintah mengadopsi prinsip-prinsip liberalisasi ekonomi yang nyaris tanpa reserve.
Karena itu, Panja CAFTA juga diharapkan menjadi momentum penguatan fungsi kontrol DPR, terutama untuk membendung kebijakan liberal yang diusung pemerintah di berbagai sektor perekenomian nasional. Karena itu, Panja DPR juga tidak hanya menitikberatkan terhadap masalah pemberlakukan CAFTA, tetapi juga perjanjian perdagangan bebas dengan negara lainnya.
DPR juga perlu mengagendakan pembahasan sejumlah kebijakan yang cenderung merugikan pelaku usaha maupun konsumen nasional. Hendri Saparini, yang juga Managing Director Econit Advisory Group, menegaskan bahwa pembentukan Panja CAFTA adalah kebutuhan mendesak. Apalagi, dalam kurun 10 tahun terakhir, kerja sama ekonomi yang diusung pemerintah justru tidak berpihak dunia usaha nasional. "Jadi, kerja Panja DPR cukup luas untuk mengevaluasi berbagai kebijakan, baik kerja sama bilateral maupun di tingkat regional. Karena liberalisasi yang luar biasa ugal-ugalan yang diusung pemerintah sudah dilakukan sejak krisis 1998. Jadi, kita bukan hanya bicara perdagangan bebas China-ASEAN," kata Hendri kepada Suara Karya di Jakarta, Kamis (15/4). Dia menambahkan, pembicaraan mengenai renegosiasi CAFTA memang harus mempertimbangkan komponen ASEAN untuk memutuskannya. Namun, kesepakatan-kesepakatan bilateral yang dilakukan dengan sangat cepat oleh pemerintah juga harus dikritisi. Apalagi, masalah ini tidak diatur dalam undang-undang (UU) yang mewajibkan pemerintah untuk meminta kesepakatan dari DPR dalam menandatangani kerja sama ekonomi bilateral dengan negara lain. Padahal, di negara lain, pemerintah harus minta kesepakatan parlemen untuk membuat kesepakatan. "Perjanjian ekonomi dan perdagangan bebas itu memang dampaknya sangat besar. Ini membuat semua negara minta persetujuan dari parlemennya. Mereka (parlemen) mewajibkan adanya embargo policy jika ada referensi FTA yang merugikan," ujar Hendri. Direktur Utama PT Krakatau Steel (KS) Fazwar Bujang memperkirakan, dampak pemberlakuan CAFTA sejak 1 Januari 2010 akan dirasakan sekitar enam bulan ke depan. Karena itu, KS sendiri belum bisa merinci berapa kerugian yang diderita Krakatau Steel.
Menurut Fazwar, yang paling banyak terkena dampak perdagangan bebas dengan China adalah industri hilir baja. Sebab, selama ini, China lebih banyak ekspor produk jadi dan bukan setengah jadi. Hingga akhir tahun 2010, para pelaku industri baja memperkirakan permintaan baja nasional akan naik 10 persen, menjadi 8,8 juta ton dari sebelumnya 8 juta ton per tahun. Penjualan Krakatau Steel hingga akhir tahun diperkirakan 2,4 juta ton, meski permintaan baja diperkirakan cenderung normal sampai akhir tahun. Namun, potensi pasar ini terancam produk baja impor dari China. (Bayu/Andrian)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar